Papua Bukan Hanya Soal KKB dan OPM, Keliru Menilai Sesederhana Itu

Pada September 2011, 8 ribu dari 22 ribu karyawan PT Freeport Indonesia mogok kerja dan menuntut kenaikan upah dari 3,5 US dolar menjadi 7,5 US dolar per jam. Itu merupakan pemogokan terlama dan paling banyak yang melibatkan karyawan, sejak Freeport beroperasi pada 1967.

Dalam 10 tahun terakhir Freeport mengeluarkan Rp 711 Miliar untuk uang keamanan aparat RI. Itu merupakan catatan kecil di balik penambangan emas terbesar di dunia.

Tentu semua memgetahui, biaya hidup di Papua lebih besar dibandingkan di daerah Jawa, sedangkan gaji yang diterima karyawan Freeport Indonesia dibandingkan pertambangan Freeport yang ada di luar negeri kalah besar. Jumlahnya saja separo lebih.

Ketimpangan upah di PT Freeport sangatlah besar. Contohnya antara pimpinan dan karyawan. Pimpinan bisa memperoleh 1,8 Miliar per bulan sedangkan karyawan dengan pangkat paling rendah hanya mendaptkan 3,3 juta.

Terkait kasus pemogokan karyawan. Pernah terjadi, 8 ribu karyawan memblokade akses masuk pertambangan agar perusahaan tak leluasa untuk beroperasi. Mereka bergantian berjaga siang dan malam untuk memblokade akses.

Jika kita merunut ke belakang. 19 Desember1961 Presiden Sukarno mengatakan untuk menggagalkan pendirian Negara Papua, Sukarno mengharuskan pengibaran bendera merah putih di tanah Irian (Papua).

- 1963, PBB menyerahkan Papua dari Belanda kepada Indonesia.
- 1966, Rezim Soekarno digantikan Jenderal Soeharto yang didukung barat.
- 1967, Freeport menandatangani kontrak 30 tahun dengan rezim yang baru.
Di kawasan yang dijadikan lokasi pertambangan, hidup 7 suku : Amungne, Kamoro,, Nduga, Dani, Damal, Moni, dan Mee.

- 1969, Referendum digelar, tapi tak melibatkan mayoritas warga Papua.
- 1973, Proyek diresmikan Presiden Soeharto dan kegiatan eksploitasi tembaga dimulai.
- 1991, Kontrak baru ditandatangani dan dapat berlaku hingga 50 tahun.
- 1995, PT Freeport menandatangani kerja sama dengan Rio Tinto.
- 1998, Rezim Soeharto terguling dan usaha merenegoisasi kontrak Freeport masih dilakukan hingga kini. Di tahun yang sama gerakan kemerdekaan Papua kembali muncul
- 2001, Pemerintah Indonesia memberikan status Otonomi Khusus untuk Papua.
- 2010, Freeport Mcmoran mencatat pendapatan Rp. 170 Triliun. Pendapatan terbesar dalam sejarah perusahaan.
- 2011, 1400 pekerja Freeport di Peru dan 8 ribu di Indonesia mogok kerja menuntut kenaikan upah. Karyawan yang berunjuk rasa dihadapi aparat dengan senjata. Bahkan terdapat seorang yang tewas gara-gara unjuk rasa tersebut

"Kami hanya berunjuk rasa menuntut keadilan dan kesejahteraan karyawan, kami bukan penjahat, kenapa kami ditembak, kenapa digunkan peluru seperti ini, kami tidak berbuat onar, kami sebagai WNI," ujar salah satu teman korban sambil menunjukkan peluru, saat terjadi aksi unjuk rasa.

Ada yang mengatakan, kehadiran OPM disebut-sebut dijadikan propaganda agar keberadaan militer tetap dibutuhkan.

Menurut studi yang dilakukan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo menjelaskan, ada 4 akar masalah di Papua.

Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. "Orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Itu harus dibicarakan," kata Muridan.

Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan. Operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia. "Itu membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia. Luka kolektif itu terpendam lama dan selalu mereka sosialisasikan itu di honai-honai (rumah-red)," kata Muridan.

Ketiga, semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan. "Dengan migrasi, pembangunan, dan lain-lain yang tidak melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir," kata Muridan.

Keempat, kegagalan pembangunan Papua. "Kita gagal membangun. Ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat," kata Muridan. Kenyataan di Papua, lanjut Muridan, mudah sekali menemukan sekolah yang tidak berjalan proses belajar mengajar karena tidak ada guru dan juga puskesmas yang kosong karena tidak ada tenaga medis dan obat-obatan.

"Negara tidak hadir di bagian-bagian di mana orang Papua membutuhkan," kata Muridan.

Menurut artikel di Tirto.id terjadi perbedaan perlakuan dari presiden masa ke masa. Sejauh ini sudah ada tujuh presiden yang bersinggungan pada masalah Papua.

1. Presiden Sukarno
Pada waktu menjelang Operasi Trikora (1961-1962), Sukarno menyatakan takkan mundur sebelum Papua-waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda-masuk ke dalam teritori Indonesia.

Dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010), sejarawan P.J. Drooglever mencatat “Presiden Sukarno mengumumkan akan mempersiapkan komando operasi yang bertugas menduduki Papua Barat dengan kekuatan bersenjata.”

Operasi yang didukung Komando Mandala di bawah pimpinan Soeharto itu sukses. Tiga belas tahun pasca-Konferensi Meja Bundar yang salah satu agendanya merundingkan nasib Papua, Belanda akhirnya melunak dan Papua (saat itu disebut "Irian Barat") berada dalam kendali PBB.

Drooglever mencatat, "semangat perlawanan yang paling kuat ada di Manokwari dan pedalaman bagian Arfak". Pada 26 Juli 1965, Permenas Awom, seorang sersan PVK (Papoea Vrijwilligers Corps/ Korps Relawan Papua), menembaki tiga serdadu Indonesia. Balasan untuk serangan tersebut, lapor Kedubes AS di Jakarta dalam sebuah kabel diplomatik, militer Indonesia mengamuk “... menembaki semua orang Papua yang terlihat, dan banyak orang tak berdosa yang sedang dalam perjalanan tertembak.”

2. Presiden Suharto
Pada 1967, sedikitnya 40 orang tewas diberondong peluru oleh Angkatan Udara. Pada tahun yang sama, tentara mengeksekusi sejumlah orang Papua dan membakar kampung di distrik Ayamaru. Kampung-kampung di daerah Kepala Burung juga dilempari granat dan bom. 

Dua tahun kemudian, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) digelar. Ali Moertopo, tangan kanan Soeharto, mengiming-imingi para kepala suku dengan hadiah. Ada beberapa versi terkait jumlah pemilih. Ada yang menyebut 1.022 orang, ada yang menyebut 1.026. 

“Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua. Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyawarah,” sebut Filep Karma dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014).

Jumlah 1.026 pemilih itu akhirnya dianggap mewakili penduduk Papua yang kala itu mencapai 800.000 jiwa. Mereka yang dipilih untuk mewakili pemungutan suara adalah yang pro-integrasi. Dengan penjagaan ketat militer Indonesia, pemungutan suara dilakukan. Hasilnya? Memilih bergabung dengan Indonesia.

3. Presiden Habibie
Melansir dari tirto.id Laporan Imparsial menyebut kebijakan Indonesia mengenai Papua mulai berubah di bawah pemerintahan Habibie (1998-1999). Setelah 1998, urusan keamanan di Papua lebih banyak dipegang oleh Polri, yang tak lagi berada di bawah ketiak TNI. 

Pada Agustus 1998, Panglima TNI Jenderal Wiranto meminta maaf secara terbuka dan mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Habibie, yang bersikeras menolak PBB turun tangan, menyatakan masalah Papua harus segera diselesaikan lewat jalur diplomasi. 

Pada masa kepemimpinan Habibie, Timor Timur (kini Timor Leste) merdeka dari Indonesia melalui referendum.

4. Presiden Abdurrahman Wahid
Gus Dur mencoba mewujudkan wacana diplomasi Habibie. Dua terobosan Gus Dur saat itu adalah mengganti nama Irian Jaya (yang dicetuskan Sukarno) menjadi Papua serta memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora. Gus Dur tidak mempermasalahkan seandainya bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Merah Putih. 

Namun, sebagaimana dicatat Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003), hubungan Gus Dur dengan TNI saat itu tidak hangat. Aparat di lapangan pun tak jarang gagal menerjemahkan kebijakan Gus Dur. Terkait pengibaran bendera Bintang Kejora, catat Barton, masyarakat Papua protes setelah terjadi insiden pemotongan tiang bendera Bintang Kejora oleh polisi. 

Posisi Gus Dur dikecam oleh para politikus Indonesia, mulai dari Ketua DPR Akbar Tanjung hingga Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. "Pemerintah harus tegas terhadap kelompok-kelompok yang mencoba mendorong separatisme," kata Akbar yang kemudian diamini Megawati.

Menurut Barton, TNI bukan hanya mempersulit Gus Dur di Papua, tetapi juga di Aceh. Sebelumnya, pada zaman Habibie, TNI dan milisi-milisi pro-integrasi membumihanguskan Timor Timur setelah referendum. “Para pemimpin militer marah dengan Gus Dur karena ia tetap mencoba mencari solusi damai lewat perundingan,” tulis Barton.


5. Presiden Megawati Soekarnoputri
Setelah Gus Dur lengser. Gus Dur tidak menyukai kebijakan larangan pengibaran bendera Bintang Kejora di bawah pemerintahan Megawati. Gus Dur menyebut pemerintah hanya "mencari penyakit". 

“Bintang kejora itu bendera kultural, bukan bendera politik. Jangan tertipu oleh Organisasi Papua Merdeka," kata Gus Dur pada 2003 sebagaimana dikutip Tempo. 

Dalam studi bertajuk "Operasi-operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman?" yang terbit di Jurnal Penelitian Politik (2006), Amiruddin Al Rahab menyebut obsesi penghancuran OPM oleh militer sebenarnya bukan atas rasa nasionalisme belaka, tapi juga dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik.

Di bawah pemerintahan Megawati, TNI melakukan pemindahan paksa warga di 25 kampung di Papua pada April 2003. Sebanyak 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, sembilan orang tewas terbunuh, dan 38 orang luka berat. Peristiwa ini dikenal sebagai Wamena Berdarah.

6. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pendekatan damai kembali diwacanakan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Melalui staf khususnya, SBY menyatakan tak ada pendekatan lebih cocok di Papua selain pendekatan damai. 

Ketika ada beberapa anggota TNI yang tewas setelah terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata, SBY tetap tidak mendorong pengerahan pasukan besar-besaran ke Papua. 

Namun, bukan berarti tidak ada tindakan militer di Papua selama pemerintahan SBY. Pada Oktober 2011, aparat TNI dan Polri menyerang Kongres Rakyat Papua III di Abepura. Pada saat bersamaan terjadi penembakan di Timika yang menewaskan tiga orang. 

Penembakan itu dilatarbelakangi oleh protes masyarakat terhadap PT Freeport. Diadang polisi agar tidak masuk ke lingkungan PT Freeport, massa melempar batu. Polisi yang gagal menghalau akhirnya menembaki demonstran dengan peluru tajam.

7. Presiden Joko Widodo
Dilansir dari Liputan6 (29/8/2019), pemerintahan Jokowi memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan SDM sebagai kerangka besar solusi konflik di Papua. Jokowi menerapkan kebijakan BBM satu harga. Dilansir dari Detik, Jokowi menilai BBM satu harga adalah bentuk “keadilan” bagi warga Papua. 

Infrastruktur lain yang juga tengah dibangun Jokowi adalah serat optik Palapa Ring. Pada 2020, Jokowi menargetkan internet sudah dapat dinikmati hingga Papua Barat. Di sisi lain, pengarusutamaan pembangunan sebagai solusi kerap menimbulkan konflik baru. 

Ketika pembangunan jembatan Trans Papua, penduduk setempat melawannya, menyebabkan 31 orang tewas. Untuk meneruskan pembangunan itu, Jokowi menerapkan operasi militer. 

Selain mengganti pekerja dengan personel TNI, Jokowi membiarkan tentara mengejar pelaku penembakan. Dampaknya, sampai Agustus 2019, 37 ribu warga tinggal di pengungsian akibat operasi gabungan TNI/Polri di Nduga.


tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di website lpmfreedom-umisba.com


Posting Komentar

0 Komentar