![]() |
| Ilustrasi. |
Belakangan, aku mulai memaknai istilah LSM tidak hanya sebagai lembaga. Rasanya manusia juga punya versi LSM-nya sendiri. Bukan lembaga formal, tapi pola pikir dan kebiasaan.
Salah satu contohnya sederhana: orang yang hobi meminjam. Pinjam uang, pinjam barang, apa saja. Awalnya kita membantu karena percaya. Tapi kemudian tidak pernah dikembalikan.
Bahkan seolah-olah memang itu haknya. Seakan ada jatah yang wajib diberikan, padahal tak ada perjanjian apa pun. Kita memberi, tentu ada harapan kembali. Wajar saja.
Ada juga pengalaman ketika memberi sesuatu, bukan soal uang. Kadang sekadar bantuan kecil atau perhatian. Lalu kita berharap ada timbal balik, bukan materi, cukup ucapan terima kasih, apresiasi sederhana, atau sekadar respons baik.
Tapi saat itu tidak datang, rasa menyesal kadang muncul. Kita merasa seperti orang bodoh yang terlalu baik.
Pada akhirnya aku belajar satu hal. Apa pun yang kita beri kepada orang lain, kalau ternyata tidak ada timbal balik, ya harus diikhlaskan. Anggap saja sedekah. Kalau tidak mau ribut, tidak mau drama, gunakan istilah paling gampang untuk menenangkan hati: jatah LSM.
Untuk orang-orang yang tak tahu caranya membalas budi, tak bisa menghargai, dan selalu merasa berhak, mungkin itulah jatah LSM mereka.
Daripada nanti mereka mencari-cari celah, merajuk, atau membuat suasana tidak enak, lebih baik hati ini selesai duluan. Kita berikan, lalu lepaskan.

0 Komentar