Menjadi Korban Jagal Nyawa 1965

Sadis. Itu mungkin satu kata yang dapat menggambarkan perasaan saat menonton film Jagal - The Act of Killing.

Bagaimana penonton diperlihatkan kejinya penyiksaan yang dialami oleh para korban. Korban adalah orang-orang yang dibunuh dalam peristiwa pembantaian massal 1965.

Orang yang dibunuh bukan hanya kader, simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) saja. Melainkan juga terduga PKI tak luput dari perhatian algojo.

Penyiksaan yang diteruskan dengan pembunuhan dilakukan bak pesta. Disertai nyanyian, serta sorak-sorak tepuk tangan. Itu terlihat jelas dalam film garapan sutradara, Joshua Oppenheimer.

Dalam film diperlihatkan, bagaimana darah menjadi minuman yang bisa nikmat untuk diminum. Daging menjadi makanan lezat yang enak untuk dimakan.

Korban pembunuhan tak bisa berbuat banyak. Mereka tidak bisa melawan. Kalah dalam pasukan dan kekuatan. Tidak ada kata lain selain pasrah.

Bagi keluarga korban, saya yakin juga mengalami perasaan sedih, trauma, serta miris melihat perlakuan yang diterima anggota keluarganya.

Rasa trauma itu mungkin sulit untuk diobati. Keinginan keluarga korban untuk menuntut keadilan nampaknya harus dikubur dalam-dalam.

Para algojo dalam peristiwa 1965, saat ini masih berkeliaran secara bebas. Tidak sedikit dari mereka yang menempati posisi strategis pemerintahan.

Sebagai borok negeri pada masa lalu, sudah sepatutnya korban mendapatkan keadilan. Negara ini juga perlu melindungi keluarga korban.

Diskriminasi yang dialami korban, seperti tidak bisa menjadi PNS, serta menjadi anggota polisi dan tentara juga harus ditinggalkan. Sebab tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Meminjam kata-kata semangat dari kawan-kawan Aksi Kamisan:

Hidup korban. Jangan diam. Lawan!

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Bicara Blitar dengan judul Merasakan Apa yang Korban Rasakan pada 2 Oktober 2022

Posting Komentar

0 Komentar