Waralaba dan Donasi

Usai lembaga donasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi buah bibir karena melakukan penyelewengan, apakah lembaga yang lain juga melakukan hal serupa? Bisa jadi.

Coba kita melirik sejenak dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Tentu kita pernah berbelanja di waralaba seperti Indomaret atau Alfa Mart. Kedua tempat itu selain menjadi tempat berbelanja sekarang juga sudah menjelma menjadi pengais donasi.

Buktinya, saat kita membayar di kasir, kemudian tidak ada uang kembalian Rp200, Rp100 atau Rp300, pasti si kasir akan menawarkan dengan berkata "Boleh didonasikan kak/pak/mbk/bu,"

Sebagai pembeli yang baik, tentu tidak ada kata lain yang terlontar selain kata "iya"

Nominal Rp200, Rp100 atau Rp300 memang tergolong sedikit. Tapi, bayangkan jika yang berdonasi jumlahnya dalam satu tempat waralaba mencapai 200 orang per hari, berapa jumlah yang terkumpul?

Kita ambil saja, donasinya rata Rp200, dana yang terkumpul sudah (Rp200 × 200= Rp40.000).

Itu baru satu waralaba. Dalam satu kawasan waralaba jumlah, bisa sangat banyak dengan lokasi yang berdekatan.

Anggap saja dalam satu kota/kabupaten ada 300 tempat waralaba yang tersebar di berbagai kecamatan, totalnya (Rp40.000 × 300= Rp12.000.000)

Jumlah yang tidak sedikit dana yang terkumpul dalam satu hari. Coba dalam satu bulan berapa dana yang terkumpul.

Memang, dana yang terkumpul itu akan disalurkan ke lembaga filantropi seperti ACT. Tapi, saat mengetahui ada penyelewengan dana yang dilakukan oleh lembaga bentukan Ahyudin pada 2005 itu, tentu publik juga bertanya-tanya.

Bisa jadi, kemungkinan penyelewengan itu juga terjadi pada donasi yang melalui waralaba.

Sebagai donatur, sudah barang tentu menginginkan donasi yang diberikan bisa tepat sasaran, dan yang terpenting jangan sampai diselewengkan. Itu saja.


Posting Komentar

0 Komentar