#12 Soe Hok Gie Sekali Lagi : Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya

Soe Hok Gie. Ia lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Namanya mungkin masih awam di telinga sebagian orang. Soe Hok Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Dirinya adalah orang Indonesia yang beretnis Tionghoa. Tubuhnya kecil. Maka dari itu ia dijuluki "Cina kecil". Dahulu mengenyam pendidikan di jurusan sejarah fakultas sastra Universitas Indonesia (UI).

Soe Hok Gie meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Kematiannya di gunung Semeru pada 16 Desember 1969 menyisakan luka yang sangat dalam. Usianya 27 tahun kurang satu hari. Sebelum meninggal dunia Soe Hok Gie sempat menuliskan tulisan di catatan hariannya : "Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua". Banyak orang mengatakan tulisan tersebut sebagai tanda-tanda akhir hayat Gie. Tetapi ada juga yang mengatakan tulisan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali.

Tidak hanya keluarga dan teman-teman dekatnya, namun seluruh orang yang pernah mendengar, bertemu atau sekadar membaca tulisannya ikut bersedih. Tulisan Soe Hok Gie terkenal sampai ke daerah-daerah.

Sejak duduk di bangku SMP, ia sudah gemar mencatat catatan harian. Kegemarannya tidak berhenti hingga dirinya meninggal. Bahkan tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media nasional. Waktu itu memang tulisannya begitu mengena terhadap realitas yang ada.

Diceritakan saat Soe Hok Gie meninggal dunia penjual peti jenazah yang berdagang di Malang Jawa Timur memberikan secara cuma-cuma peti yang digunakan untuk jenazahnya. Penjual peti ikut bersedih mendengar kepergian Soe Hok Gie untuk selama-lamanya. Penjual peti mengaku kagum dengan tulisannya yang banyak beredar di surat kabar nasional.

Di dalam buku "Soe Hok Gie Sekali Lagi Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya", ada delapan orang yang mendaki gunung Semeru. Kedelapannya : Idhan, Soe Hok Gie, Rudy Badil, Freddy Lasut, Herman Lantang, Aris Tides, Maman, dan Wiwiek. Mereka berangkat dari Stasiun Gambir Jakarta pada tanggal 12 Desember 1969. Semuanya berada pada gerbong barang. Di dalam gerbong cerita-cerita menarik tak luput untuk mereka disampaikan.

Sampai di Surabaya, mereka beranjak menuju Malang. Sesampainya di Malang menginap di salah satu rumah kenalan mereka. Keesokan harinya kedelapan orang mulai beranjak untuk mulai mendaki gunung Semeru. Pos demi pos mereka lalui. Mulai dari Ranu Kumbolo hingga Recopodo. Tak lupa perbekalan disiapkan semaksimal mungkin untuk menaiki gunung tertinggi di Pulau Jawa. Medan curam dan berbahaya harus dilewati untuk sampai di tujuan.

Pada tanggal 16 Desember atau satu hari sebelum ulang tahun Gie yang ke 27 mereka sampai di Pos terakhir atau biasa disebut Recopodo. Kebetulan waktu itu cuaca tidak mendukung. Seusai berhasil menginjakkan kaki di Mahameru, mereka langsung bergegas turun ke bawah sebab cuaca tidak mendukung. Pada ketinggian 3400 mdpl, Idhan dan Soe Hok Gie meninggal diduga akibat keracunan belerang.

Jasad mereka berdua baru bisa dievakuasi enam hari setelah kematiannya, dengan bantuan warga sekitar, pecinta alam dari Malang, dan aparat militer. Sementara teman-teman yang lain harus menjalani perawatan untuk memulihkan kondisi tubuh. Dengan menterengnya nama Soe Hok Gie, membuat berita kematiannya meluber kemana-mana. Orang yang bertakziah tidak hanya dari kalangan teman-temannya saja, melainkan juga hadir menteri dan juga pejabat-pejabat negara. Sebelum dimakamkan, jenazah Gie disemayamkan di rumah duka dan juga diantar di kampusnya, Universitas Indonesia.

Lebih dari sepuluh tokoh yang menuangkan tulisannya yang berkaitan dengan Soe Hok Gie.

Di dalam buku dituliskan berbagai opini orang-orang yang mengenal Soe Hok Gie secara langsung maupun yang tidak mengenalnya secara langsung. Pada seratus halaman pertama diceritakan mengenai kronologi kematian Gie yang ditulis oleh Rudy Badil. Bab berikutnya menceritakan pengalaman Gie saat berada di kampus UI, yang waktu itu berada di Rawamangun-Salemba.

Membicarakan mahasiswa tidak lengkap tanpa menceritakan hubungan asmaranya. Soe Hok Gie pernah dekat dengan beberapa wanita. Salah satunya Kartini Panjaitan, yang kemudian setelah Gie meninggal menjadi istri dari Dr Syahrir. Di dalam tulisannya, Kartini pernah bercerita mengenai kedekatannya dengan Soe Hok Gie. Tercatat beberapa kali keduanya saling berkirim pesan. Dan juga sering keluar bersama. Namun apa daya ajal telah menjemput orang yang dicintainya. Rasa kekecewaan dia curahkan di dalam sebuah tulisannya empat puluh tahun kemudian.

Tak luput pengamat sejarah seperti Ben Anderson, pemeran sosok film "GIE" Nicholas Saputra, sutradara film "GIE" Mira Lesmana, dan tak lupa kakaknya Arief Budiman juga ikut menuliskan tulisan tentangnya.

Selain itu Soe Hok Gie menurut teman-temannya terlihat lebih dewasa tiga sampai lima tingkatan dibanding teman-temannya.  Keseharian Soe Hok Gie sebagai mahasiswa dihabiskan untuk berdiskusi, membaca dan menulis atau bertemu pejabat pemerintahan dan militer untuk membicarakan masalah negara. Ia dijuluki sebagai macan mimbar pada forum diskusi. Digambarkan dirinya pernah menentang adanya organisasi ekstra kampus yang mencoba menghegemoni kampus.

Soe Hok Gie pernah mengatakan politik itu seperti lumpur-lumpur yang kotor, ia tidak ingin terjun di dalamnya, namun karena tidak ada cara lain untuk mengubah sistem, akhirnya ia terjun di dalamnya untuk terlibat. Sebelum terjun di dunia politik Soe Hok Gie lebih dahulu bersama teman-temannya, mahasiswa  fakultas sastra UI membentuk Mapala(Mahasiswa Pecinta Alam). Kemudian memperlebar sayap hingga tingkat kampus. Tujuannya ingin membentuk jiwa patriotisme terhadap tanah air. Soe Hok Gie menganggap cinta tanah air dapat dilakukan dengan cara mengetahui kekayaan alam dan kehidupan masyarakatnya.

Teman-teman Mapala UI sudah pernah mendaki beberapa gunung di tanah Jawa, yang paling sering adalah gunung Parangao. Mereka juga pernah mendaki gunung tertinggi kedua di tanah Jawa, gunung Slamet. Di dalam buku diceritakan ketika Soe Hok Gie muak dengan keadaan di dalam kampus, ia sering mencari ketenangan di lembah Mandalawangi yang berbeda di lereng gunung Parangao.

Soe Hok Gie juga merupakan anak rumahan. Meskipun pulangnya malam sampai larut dini hari, ia tetap memutuskan untuk tidur di rumah. Menurut penuturan kakaknya, biasanya setelah sampai rumah, di ruangan yang agak pencahayaannya muram dan ada nyamuk, masih terdengar suara ketikan dari mesin ketik Gie. 

Sebagai seorang mahasiswa yang sangat kritis terhadap jalannya pemerintahan ia memutuskan untuk bergabung dengan gerakan sosialis. Dirinya pernah bertemu dengan Sumitro Djojohadikusumo. Untuk memperlancar rencana pelengseran kekuasaan Soekarno. Soe Hok Gie dan teman-temannya berunjuk rasa di beberapa tempat umum pemerintahan.

Waktu itu terjadi kontroversi mengenai pemilihan menteri yang berasal dari orang-orang PKI, selain itu terjadi politik kenaikan harga, agar masyarakat Indonesia lebih memilih memikirkan kebutuhannya, sehingga orang-orang PKI bisa leluasa menguasai negara. Namun dengan bergabungnya mahasiswa dengan militer, akirnya rezim Orde Lama dapat tumbang. Setelah itu mulailah berkuasa rezim Orde Baru.

Soe Hok Gie adalah tipe mahasiswa yang mempunyai idealisme sangat kuat. Tidak seperti teman-temannya yang kepincut dengan jabatan di pemerintahan. Sebelum ia dan teman-temannya mendaki gunung Semeru, Soe Hok Gie terlebih dahulu mengirimkan teman-temannya yang duduk di parlemen dengan lipstik dan bedak agar mereka dapat bertata rias dengan baik.

Ia memutuskan untuk tetap berada di bawah. Beberapa kali tulisannya mengkritik rezim Orde Baru. Gie tidak memandang siapa yang berkuasa, tapi siapa saja yang menyelewengkan kekuasaan maka akan dikritik. 

Buku ini menceritakan sosok mahasiswa, yang tulisannya sering menjadi rujukan mahasiswa hingga sekarang. Tulisannya sangat lengkap mulai dari kronologi kematiannya, tulisan teman-temannya, hingga tulisan Gie sendiri.

Buku ini sangat direkomendasikan bagi orang yang ingin mengetahui seluk beluk sosok Soe Hok Gie lebih dalam. Tulisannya mudah dipahami dan sudah disesuaikan dengan sesuai ejaan sekarang.

Judul Buku : Soe Hok Gie Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis        : Rudi Badil, Luky Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R (ed)
Penerbit      : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan      : Pertama, Desember 2009
Tebal           : 512 halaman
ISBN            : 9789799102195

Posting Komentar

0 Komentar