Perjalanan Penuntasan Dahaga Spiritual

Minggu, 27 Januari 2020 adalah momen yang akan saya tulis di buku lembaran sejarah. Saya dan beberapa kolega meninggalkan kampung halaman untuk menuju negara tetangga : Singapura dan Thailand.

Sekitar jam 2 siang kendaraan yang telah disewa oleh pihak kampus bergegas meninggalkan area universitas. Perjalanan dimulai untuk menuju Bandara Juanda. Sepanjang perjalanan tak elok rasanya untuk tidak bercerita mengenai barang-barang bawaan yang dibawa. Salah satu kolega mengatakan membawa sambal pecel, dan satunya lagi mengatakan bahwa ia sangat takut naik pesawat, maklum pengalaman pertama kali.

Situasi di dalam mobil sangat riuh seperti ibu-ibu yang doyan nge-gosip. Perjalanan dari Blitar ke Juanda biasanya memakan waktu 4-5 jam. Belum lagi kalau terjebak macet, bisa-bisa sampai 6 jam lebih. Untungnya hari itu jalanan ramai lancar. Jadi, dapat dipastikan sampai bandara sesuai perkiraan. Terlebih tol Pakis Malang-Pandaan sudah bisa dilewati. Alhasil  perjalanan lancar tanpa ditemukan hambatan. 

Mulai dari Malang sampai mendekati area Bandara mobil yang saya tumpangi menggunakan akses jalan tol. Terima kasih pak Jokowi. Sesampainya di dekat bandara kami memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah warung pinggir jalan. Wajar, makanan di bandara harganya sangat mencekik. 

Waktu itu merupakan terakhir kali saya merasakan makanan Indonesia di negeri sendiri. Sate ayam dan soto ayam menjadi opsi makanan sore itu. Bagi saya sate ayam adalah pilihan yang tepat, karena isinya lebih banyak. Ya, biar tetap kenyang selama di bandara. Setelah setengah jam lebih menyantap makanan di warung, rombongan bergegas menuju bandara yang sudah tak jauh lagi. 

Oo iya, seperti halnya makanan, saya juga membeli minuman dari luar. Biar hemat. Hitung-hitungan lebih baik dibuat membeli hal-hal yang lain, daripada membeli air mineral 25 ribu. 

Setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer akhirnya mobil sampai di depan bandara. Layaknya orang yang kebelet ke toilet, kami segera menurunkan barang bawaan dengan segera. Ada kabar yang bilang bahwa, dibatasi maksimal 3 menit saat memarkirkan kendaraan. 

Akhirnya momen yang ditunggu pun tiba. Saya merasakan membawa koper, barang bawaan yang berat. Perasaan khawatir tidak dapat terelakan. Saat memasuki x-ray perasaan cemas mulai bergemuruh : bagaimana jika barangnya tidak lolos, kalau nanti disita, sampai kalau saya tidak bisa berangkat. 

Satu per satu area pengamanan berhasil dilewati. Tinggal saatnya menunggu keberangkatan di ruang tunggu. Sebelum sampai di ruang tunggu, kami menyempatkan untuk menukar uang terlebih dahulu, dari rupiah ke dolar Singapura. Agar tidak perlu repot tukar uang lagi. Ternyata wifi di bandara sangat kencang, meskipun belum sebanding dengan mahalnya harga tiket. 

Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Petugas bandara memberitahukan kepada penumpang untuk bergegas menuju kabin pesawat. Jantung berdebar lebih kencang. Tak lupa saya merekam momen-momen terakhir di Indonesia menggunakan kamera ponsel. Begitupun saat sudah di dalam kabin pesawat. 

Setelah sekitar 15 menit mesin pesawat dipanaskan. Pesawat mulai berjalan dengan perlahan. Kawan karib saya sontak langsung berubah wajahnya. Dia memegang tangan temannya sembari membaca lantunan ayat suci Al-Quran saking takutnya. Bahkan, sampai memejamkan mata. 

Bagi orang yang pertama kali naik pesawat seperti saya, sensasi transportasi ini memang berbeda dengan yang lain. Suara gemuruh mesin yang bikin gendang telinga bekerja eksta. Dan yang paling terasa adalah ketika pesawat take off, rasanya jantung mau copot. Ya, rasanya mirip kalau kita bermain di dufan.

Hal-hal mengerikan tadi seakan telah terobati. Kehadiran pramugari yang ehemm, membuat rasa ketakutan menjadi hilang. Ditambah lagi pemandangan dari dalam pesawat. Terlihat jelas gemerlapnya lampu di malam hari yang memanjakan mata. Tak terasa suasana nyaman di dalam pesawat membawa saya ke dalam ruang mimpi. 

Setelah dua jam lebih pesawat mulai masuk Negara Singapura. Petugas memberitahukan prosedur keselamatan. Seperti halnya saat akan take off, teman saya melakukan ritual pegang tangan dan memejamkan mata saat pesawat akan landing. Sensasinya kurang lebih sama. Membuat jantung seperti akan copot. 

Di Bandara Changi, yang terbesit di kepala hanyalah rasa kagum yang tak terkira. Sebuah pengalaman spiritual menuntaskan dahaga. Dini hari itu, tas ransel saya taruh di lantai, sepatu dilepas. Saatnya memejamkan mata untuk beristirahat demi menatap esok hari yang lebih bugar.

Posting Komentar

0 Komentar