Fanatisme Akut Pemuda Durjana

Fanatisme Akut Pemuda Durjana
(foto: unsplash.com/@wflwong)
Saya adalah orang yang pernah menjadi korban fanatisme terhadap sebuah kelompok, komunitas, atau organisasi. Diakui. Itu berakibat pada perspektif saya terhadap memandang orang lain.

Fanatisme yang berlebihan berimbas pada bias. Kebenaran dinomor duakan. Pertimbangan utama dalam menentukan kebenaran ialah menguntungkan saya atau tidak. Sesuatu yang benar bakal menjadi salah. Begitupun sebaliknya.

Kebenaran itu diciptakan bukan karena apa yang disampaikan, tapi siapa yang membicarakan. Harus ada kesadaran bagi seorang yang punya pengaruh besar untuk senantiasa menganut nilai-nilai toleransi.

Fanatisme ibarat cinta yang buta. Apapun akan dikorbankan tanpa menakar kemampuan yang dimiliki. Masih untung apabila masih sesuai harapan. Buntung apabila hanya tinggal kenangan.

Fanatisme berlebihan berakibat pula pada dunia yang terasa sempit. Seolah-olah apa yang tidak seragam, sekelompok, atau sejenis dengannya haram untuk dijadikan teman bergaul.

Menyempitkan pergaulan hanya akan melanggengkan pola pikir yang sempit. Dengan itu pula akan semakin besar kemungkinan munculnya bibit-bibit intoleransi.

Lebih celaka lagi saat nilai fanatisme yang diajarkan melebihi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung setinggi-tingginya hanya menjadi isapan jempol belaka.

Seperti halnya nyawa, harga diri bisa jadi tidak ada harganya apabila sudah terkena bias akibat fanatisme yang berlebihan. 

Saya pikir setiap organisasi, komunitas, atau perkumpulan yang ada, harus menyadari masalah ini. Bahwa pihaknya bukanlah induk dari kebenaran. Bahwa pihaknya juga punya kesalahan. Itu harus disadari.

Tentu sebagai warga negara, tidak ingin melihat ada pertumpahan darah gara-gara masalah ini. Perbedaan pandangan ataupun keberpihakan politik menjadi biang kerok masalah.

Posting Komentar

0 Komentar