Bukan Aksi Kamisan

                     ANTARA / FANNY OCTAVIANUS 

Kamis, Kamis, demi Kamis telah terlewati. Beberapa bulan yang lalu saya sempat berkeinginan mengunjungi suatu tempat yang sakral. Berawal dari postingan kerabat dekat, saya akhirnya mengetahui seluk beluk tempatnya. Terbesit di kepala untuk mengunjunginya suatu saat.

Saya tidak akan menyebutkan tempatnya, Maaf, andaikan nanti membuat Anda penasaran mengenai detail lokasinya.

Kamis (23/7/20) menjelang sore, akhirnya kesempatan itu benar-benar tersampaikan. Tidak seperti kejadian yang sebelumnya, di mana selalu ada saja kegiatan yang bertabrakan. Saat ini jauh-jauh hari sudah saya jadwalkan, jadi bisa mengatur waktu lebih teratur.

Berbekal pakaian seadanya dan tas ransel yang biasa saja, keberangkatan spiritual siap dijalankan. Sepeda motor dinyalakan untuk segera menuju lokasi yang dituju. Lalu lalang kendaraan senantiasa menemani sore yang indah. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, di mana cuaca kurang begitu bersahabat. Kali ini sinar mentari tak malu untuk menampakkan sinarnya.

Jalanan desa menjadi saksi bisu pengalaman baru yang sejak lama saya inginkan. Tak lupa perbincangan hangat bernada humor selalu menjadi selingan selama di perjalanan. Terkadang sampai tertawa terbahak-bahak. Sayang perjalanan harus terhenti di awal perjalanan. Ada beberapa orang yang harus ditunggu. Kami sengaja mampir di rumah salah satu kerabat yang lain untuk berangkat bersama-sama.

Untungnya saya bertemu dengan orang yang tepat. Saya disuruh memakan hidangan yang sudah disajikan di dapur. Makanannya sederhana, tapi rasanya luar biasa. Maklum hasil dari berkebun sendiri.

Setelah sepiring nasi dan sayur serta lauk pauk disantap, para kerabat bergegas untuk segera berangkat. Tapi, namanya sudah akrab, tidak elok rasanya untuk berbincang-bincang lebih lama lagi. Secangkir kopi menjadi seduhan selanjutnya sembari menunggu keberangkatan. Sore itu begitu indah lengkap dengan candaan khas anak muda.

Perjalanan dilanjutkan kembali meniti jalanan yang panjang. Lumayan lama durasi waktu yang harus terkuras untuk menempuh perjalanan. Hitungannya kira-kira jarak yang hampir diperbolehkan mengqadha sembahyang. Kami tidak terburu-buru, terlalu mubazir meninggalkan senja yang sangat elok.

Sudah lama rasanya tubuh tidak melakukan perjalanan yang panjang. Apalagi situasi masih seperti ini. Rantai penyebaran COVID-19 yang masih mengintai. Para pengguna jalan mesti menggunakan masker.

Bedug Isya, tak terasa lokasi yang dituju berhasil dicapai. Lengkap dengan ramainya suasana tempat keramaian. Tempat yang saya tuju mengindahkan keadaan yang masih terjadi. Tangan, sepeda motor, harus disemprot disenfektan untuk mematikan virus.

Agar tidak mengantuk saya memutuskan pergi ke tempat wudhu untuk sekadar membasuh muka. Setelah itu pergi ke serambi masjid menaruh tas ransel agar tidak membawa beban yang berat. 

Bagaikan acara gala dinner. Kami dipersilahkan menuju tempat makan bagi tamu. Menu yang disajikan sangat sederhana. Salut, melihat penghormatan yang mereka berikan kepada seorang tamu. Jarang-jarang menemukan tempat seperti ini. Sekali lagi maaf, saya tidak menyebutkan tempatnya.

Sehabis makan, tak elok rasanya tanpa menyeduh teh hangat untuk menenangkan jiwa yang kelelahan. Saat keluar ruangan, saya mendapati emak-emak dan pemuda yang bersemangat membimbing adik-adik kecil mewarnai. Selain itu mereka rela memberikan dongeng kepada anak-anak kecil. Sebuah romantisme yang sangat elok untuk dipandang mata.

Entah darimana muasalnya, tiba-tiba saya dipertemukan dengan dua sosok manusia yang seru diajak bicara. Jarang-jarang saya bisa langsung akrab saat bertemu dengan orang yang baru. 

Dua manusia yang berbeda gender itu menemani malam saya dengan cerita-cerita yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Meskipun berbeda latar belakang, hal itu bisa mendobrak jurang keterbatasan pembicaraan kami. Bahkan kata-kata seperti bangsat, cebol, bisa terlontar begitu saja.

Sampai lamanya kami mengobrol, kaki rasanya pegal. Agar obrolan tetap bisa dilanjutkan, kami memutuskan berpindah lokasi untuk mencari tempat duduk. Tak terasa waktu mengharuskan untuk berpindah tempat lagi. Forum trisula manusia yang tak mengenal batas mau tidak mau harus bubar. Rasanya tak mungkin membicarakan topik yang terlalu anak muda di hadapan khalayak dengan ragam usia. Mulai dari balita sampai paruh baya.

Malam yang indah itu harus ditutup dengan pejaman mata.



Posting Komentar

0 Komentar