Tan Malaka Umpamakan Republik Seperti Burung Gelatik

Apresiasi Pengguna Popok Bekas
Dalam tulisan Hasan Nasbi di Majalah Tempo, 11 Agustus 2008, dia menuliskan perumpamaan Tan Malaka tentang republik. Dia mengumpamakan republik seperti burung gelatik.

Burung gelatik seperti burung yang lemah. Burung ini banyak yang mengancam. Di dahan yang rendah gelatik harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam.

Di dahan yang tinggi apalagi, masih ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Gelatik hidup penuh ketakutan dan perasaan yang terancam.

Menurut Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti itu. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.

Namun, jika gelatik berada dalam suatu rombongan besar, iya bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Gelatik yang terlihat seperti makhluk lemah bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus.

Keringat yang dikeluarkan petani selama 4 bulan bisa terbuang sia-sia. Padi bisa habis disantap oleh kawanan gelatik.

Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. 

Merdeka ada dua arah: tidak menebar ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.

Setelah merdeka tidak ditinggalkan begitu saja. Indonesia harus punya bentuk yang jelas. Ketika para pejuang baru berpikir tentang persatuan atau paling jauh tentang Indonesia merdeka, sudah memikirkan langkah Republik Indonesia.

Dia sudah menyebarkan brosur Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya di Kanton, Cina, 1925 lalu. Atau 3 tahun sebelum Sumpah Pemuda.

Tan Malaka dengan tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Tulisannya tidak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.

Baginya, pembagian kekuasaan berdasarkan eksekutif, yudikatif, dan legislatif hanya akan menghasilkan kerusakan. 

Eksekutif adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan sesungguhnya. Kerjanya akan repot saat aturan dibuat oleh orang-orang yang melihat persoalan dari jauh (parlemen).

Demokrasi melalui sistem parlemen akan melakukan ritual pemilihan sekali dalam kurun waktu setengah dekade. Dalam kurun waktu tersebut mereka akan menjelma menjadi kelompok yang berpisah dengan masyarakat.

Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan pemodal. Tidak mewakili kepentingan masyarakat yang mereka naungi.

Saat berkaca pada zaman sekarang, Tan Malaka bakal menepuk dada. Dia akan menyuruh untuk menyaksikan negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh. Kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.

Parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekedar warung tempat orang adu kuat untuk mengobrol. Mereka adalah orang yang jago berbicara dan berbual.

Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi. Singkatnya keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada.

Tan Malaka juga menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X 1945 tentang pendirian partai. Sebab, pasti bakal bermuara di parlemen.

Negara Tanpa Parlemen

Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi dibagi kewenangan sebagai pelaksana, pemeriksa dan pengawas. Serta badan peradilan.

Dibayangkan untuk saat ini organisasi yang berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Organisasinya di tingkatan terendah sampai tingkat nasional.

Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di sini desain sebuah organisasi harus dijalankan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan.

Kongres organisasi di tingkat terendah sampai tingkat tertinggi harus dilakukan dalam jarak waktu yang tak terlalu lama. 2 tahun mungkin menjadi waktu ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja tak maksimal kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.

Mungkin kita bakal mengatakan gambaran Tan Malaka itu tidak demokratis. Wajar karena selama ini kita sudah dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu.

Apabila bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tidak demokratis, maka kita juga boleh mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, atau PBB merupakan lembaga yang tidak demokratis.

sumber: Majalah Tempo. 11 Agustus 2008. Republik dalam Mimpi Tan Malaka. Diakses pada 7 Juni 2022, dari https://majalah.tempo.co/read/127960/republik-dalam-mimpi-tan-malaka


Posting Komentar

0 Komentar