Selepas waktu Magrib di Pasar Legi terlihat banyak pemuda sedang berkumpul. Suasana pasar tradisional terbesar di Kota Blitar itu berbeda dari suasananya: lebih ramai.
Malam itu, Sabtu, 3 Mei 2025, memang ada agenda Panggung Ekspresi yang digelar oleh PC PMII Blitar, untuk memeriahkan Harlah ke-65 organisasi yang lahir di Surabaya, 17 April 1960.
Kondisi Pasar Legi memang membutuhkan perhatian. Sepi, padahal belum lama direnovasi setelah mengalami kebakaran hebat pada 2016 lalu.
Berbagai upaya tentu harus dilakukan untuk kembali meramaikan pasar ini. Salah satunya sebanyak mungkin menggelar kegiatan di sana, agar semakin ramai.
Mengapa panggung ekspresi? Mengapa Tanasaghara? Mengapa di Pasar Legi?
Bagi kami, anak muda harus sering menyampaikan ekspresinya terhadap situasi daerah dan negara ini. Kreativitas, kritikan, masukan anak muda harus diwadahi. Mereka harus memberikan warna.
Anak muda, hemat saya, membutuhkan panggung. Semakin banyak panggung yang diberikan semakin baik. Apalagi mereka memiliki tujuan yang baik, membangun daerah dan negara.
Melalui puisi, orasi, lalu penyampaian pendapat bisa menumbuhkan jiwa-jiwa pemberani. Kemudian lewat diskusi, tentunya ada hal baru yang diharapkan bisa tersampaikan kepada orang-orang yang hadir.
Tidak berhenti di situ, keberadaan musik juga menjadi metronom untuk membangkitkan semangat anak-anak muda agar tetap menyala. Semangat agar tetap krisis dalam menyampaikan pendapat.
Maka di sinilah, saya perlu menyampaikan terima kasih kepada Mas Roby, melalui project musiknya, Tanasaghara. Melalui lagu-lagu yang dibawakannya, semangat kami tetap menyala.
Masih teringat petikan lirik demi petikan lirik yang dibawakan di lantai 2 Pasar Legi, Kota Blitar. Ada lagu Mata di Pesisir, Mantra Hutan, Anarki Kasih Ibu, Teras, dan Problem Ngiri Jalan.
Selain itu, masih ada lagu Lagu ke-2 Kontra Tindas, Biar Ina Tenang, dan ditutup dengan Nyanyian Gagak. Kami bernyanyi begitu lantang, karena gemuruh pergerakan ini memang masih tetap menyala-nyala.
"Hari ini kupastikan. Ku hidup bersama sang pembual. Bersama sang fajar, bersama pagi yang buta. Bersama kopi dingin sisa semalam, terbengkalai" salah satu petikan lirik yang dinyanyikan bersama-sama sambil berangkul-rangkulan.
Lantai 2 Pasar Legi begitu bergemuruh malam itu. Namun, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, kami harus bergegas menyudahi kegiatan.
Bersamaan dengan usainya kegiatan, makanan yang kami jajakkan, juga sudah habis. Menjajakkan makanan seperti cilot, sempol, sundukan, tahu kres, bukan tanpa alasan.
Kami menganggap keberadaan makanan yang kami bawa merupakan simbol perjuangan pedagang kecil dalam melawan hegemoni pemodal besar. Dan inilah semangat yang harus dibawa pedagang di Pasar Legi.
Tak lupa, saya sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan organisasi mahasiswa dan komunitas yang telah hadir. Berkat mereka pula kegiatan bisa berjalan dengan lancar.
Semoga gemuruh ini tetap menyala. Semoga Pasar Legi bisa ramai kembali seperti dahulu. Dan semoga kita selalu dalam nafas pergerakan.
Panjang umur pergerakan.
0 Komentar